Yang Mewajibkan Mandi Besar itu Ada Beberapa Hal – Pada kesempatan ini Dutadakwah akan membahas tentang Mandi Wajib. Yang mana dalam pembahasan kali ini menjelaskan tentang beberapa hal yang mewajibkan seseorang mandi wajib dengan secara singkat dan jelas. Untuk lebih jelasnya silahakan simak ulasan berikut ini dengan seksama.
Yang Mewajibkan Mandi Besar itu Ada Beberapa Hal
Dalam kitab Safinatun Naja’ menerangkan bahwa hal yang mewajibkan mandi ada 6 hal, yaitu
- Bertemunya dua kemaluan
- Keluarnya mani,
- Haid,
- Nifas,
- Melahirkan, dan
- Meninggal dunia.
Wajib Mandi Karena Bertemunya Dua Kemaluan Walaupun Tidak Keluar Mani
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika seseorang duduk di antara empat anggota badannya, lalu bersungguh-sungguh kepadanya, maka wajib banginya mandi.” (Hadits Bukhari Nomor 282)
Di dalam riwayat Muslim terdapat tambahan, “Walaupun tidak keluar mani.”
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
إِنَّ رَجُلًا سَأَلَ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الرَّجُلِ يُجَامِعُ أَهْلَهُ ثُمَّ يُكْسِلُ هَلْ عَلَيْهِمَا الْغُسْلُ وَعَائِشَةُ جَالِسَةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنِّي لَأَفْعَلُ ذَلِكَ أَنَا وَهَذِهِ ثُمَّ نَغْتَسِلُ
Artinya: “Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya namun tidak sampai keluar air mani. Apakah keduanya wajib mandi? Sedangkan Aisyah ketika itu sedang duduk di samping, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Aku sendiri pernah bersetubuh dengan wanita ini (yang dimaksud adalah Aisyah, pen.) namun tidak keluar mani, kemudian kami pun mandi.” (Hadits Muslim Nomor 527)
Bagaimana jika ada yang menyetubuhi istrinya pada dubur yang jelas itu dosa besar, namun apakah tetap wajib mandi?
Jawabannya, ia wajib mandi. Hal ini disepakati oleh empat ulama madzhab.
Wajib Mandi Karena Keluar Mani
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata,
عَنْ الرَّجُلِ يَجِدُ الْبَلَلَ وَلَا يَذْكُرُ احْتِلَامًا قَالَ يَغْتَسِلُ وَعَنْ الرَّجُلِ يَرَى أَنَّهُ قَدْ احْتَلَمَ وَلَمْ يَجِدْ بَلَلًا قَالَ لَا غُسْلَ عَلَيْهِ قَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ تَرَى ذَلِكَ غُسْلٌ قَالَ نَعَمْ إِنَّ النِّسَاءَ شَقَائِقُ الرِّجَالِ
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya tentang seorang laki-laki yang mendapatkan basah namun ia tidak ingat jika bermimpi, beliau menjawab: “Ia wajib mandi.” Dan beliau juga ditanya tentang seorang laki-laki bermimpi namun tidak mendapatkan sesuatu yang basah (mani), beliau menjawab: “Ia tidak wajib mandi.” Ummu Salamah bertanya, “Wahai Rasulullah, jika seorang wanita bermimpi seperti itu apakah ia juga harus mandi?” beliau menjawab: “Ya, karena wanita adalah saudara(sepadan) laki-laki.” (Hadits Tirmidzi Nomor 105).
Mimpi basah ada beberapa keadaan:
- Mimpi basah lantas keluar mani, maka wajib mandi. Hal ini dikatakan sebagai ijmak para ulama seperti dinyatakan oleh Ibnu Hazm, Ibnu ‘Abdil Barr, Ibnu Qudamah, Imam Nawawi, dan Ibnu Taimiyyah.
- Mimpi namun tidak keluar mani atau tidak melihat apa pun, maka tidak wajib mandi. Hal ini disepakati oleh empat ulama madzhab.
- Melihat mani, namun tidak mengingat mimpi basah ataukah tidak, tetap wajib mandi. Hal ini disepakati oleh empat ulama madzhab.
- Melihat ada sesuatu yang basah, namun ragu apakah itu mani ataukah madzi, maka tidak wajib mandi. Itulah pendapat yang masyhur dalam madzhab Syafi’i, pendapat dari Abu Yusuf, pendapat dari ulama Malikiyyah, pendapat dari Hanabilah, inilah pendapat sekelompok salaf. Imam Al-Baghawi menyatakan bahwa hal ini jadi pendapat kebanyakan ulama. Pendapat ini dipilih pula oleh Ibnul Mundzir, Ibnu Qudamah, Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz, dan Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin. Lihat bahasan Mulakhash Fiqh Al-‘Ibadaat, hlm. 113-114.
- Termasuk juga di sini yang menyebabkan mandi wajib adalah melakukan onani (al-istimna’ yaitu mengeluarkan mani dengan tangan). Menurut ulama Syafi’iyah dan ulama Malikiyah, hukum onani itu haram. Namun para ulama sepakat kalau mengeluarkan mani dengan tangan istri, dibolehkan. Lihat Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah, 39:140.
Wajib Mandi Karena Haid, Nifas, dan Melahirkan
Wajib bagi wanita yang mengalami haid dan nifas untuk mandi jika telah suci. Karena Allah Ta’ala berfirman,
وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ
Artinya: “Dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu.” (QS. Al-Baqarah Ayat 222)
Dalil pendukung lainnya adalah hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada Fathimah binti Abi Hubaisy, “Apabila kamu datang haid hendaklah kamu meninggalkan shalat. Apabila darah haid berhenti, hendaklah kamu mandi dan mendirikan shalat.”
Juga hadits dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, bahwasanya Ummu Habibah binti Jahsy pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai darah. ‘Aisyah menyatakan bahwa ia melihat pada wadahnya yang digunakan untuk mencuci pakaian penuh dengan darah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengatakan kepadanya, “Diamlah selama masa kebiasaan haidmu, kemudian mandi lalu shalatlah.”
Nifas juga disamakan dengan haid. Karena darah nifas juga keluar dari rahim, bukan darah penyakit. Melahirkan juga dimisalkan dengan nifas. Melahirkan juga diistilahkan dengan nifas. Karena rahim itu beristirahat setelah bayi darinya. Namun sebagian ulama menyaratkan wajibnya mandi karena melahirkan disertai dengan adanya darah bersamaan dengan bayi itu keluar, sebelumnya, atau sesudahnya.
Jika bayi itu keluar tanpa disertai adanya darah, maka tidak wajib mandi namun disunnahkan saja untuk mandi. Sedangkan pendapat mu’tamad (yang jadi pegangan dalam madzhab Syafi’i), wajib mandi karena wiladah (melahirkan) secara mutlak, walaupun tidak keluar darah bersamaan dengannya. Karena bayi yang keluar berasal dari mani. Dalam keadaan seperti ini pula, adanya darah menunjukkan belum sahnya mandi sampai darah tersebut berhenti. Lihat At-Tadzhib fi Adillati Matan Al-Ghayah wa At-Taqrib, hlm. 27.
Wajib Mandi Karena Kematian
Kematian itu menyebabkan wajib mandi, hal ini berdasarkan hadits dari Ummu ‘Athiyyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masuk menemui kami yang waktu itu kami sedang memandikan puterinya, lalu beliau bersabda: “Mandikanlah ia tiga kali, lima kali atau lebih dari itu -jika hal itu kalian pandang perlu- dengan air dan daun bidara, dan pada bagian terakhir kali dengan kapur barus atau sedikit kapur barus, jika kalian telah selesai, maka beritahulah aku.” Setelah kami selesai, kami memberitahukan beliau, kemudian beliau memberikan kainnya kepada kami seraya bersabda: “Bungkuslah ia dengan kain ini.” (Hadits Nasai Nomor 1863).
Menurut jumhur ulama, yang dimaksud putrinya di sini adalah Zainab. Zainab ini yang menikah dengan Abu Al-‘Ash.
Adapun yang mati syahid tidaklah wajib dimandikan karena berdasarkan hadits Jabir, ia menyatakan,
أَنَا شَهِيدٌ عَلَى هَؤُلَاءِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَمَرَ بِدَفْنِهِمْ فِي دِمَائِهِمْ وَلَمْ يُغَسَّلُوا وَلَمْ يُصَلَّ عَلَيْهِمْ
Artinya: “Aku akan menjadi saksi atas mereka pada hari qiyamat”. Maka Beliau memerintahkan agar menguburkan mereka dengan darah-darah mereka, tidak dimandikan dan juga tidak dishalatkan.” (Hadits Bukhari Nomor 1257)
Demikian ulasan tentang; Yang Mewajibkan Mandi Besar itu Ada Beberapa Hal – Semoga dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan kita semua. Terimakasih.