Syarat Sah Shalat Jumat Yang Harus Difahami – Pada kesempatan kali ini Dutadakwah akan membahas tentang Sholat Jumah. Yang mana dalam pembahasan kali ini menerangkan beberapa syarat sah sholat jumah dengan secara singkat dan jelas. Untuk itu silahkan simak ulasan berikut ini.
Syarat Sah Shalat Jumat Yang Harus Difahami
Seperti halnya ibadah lain, shalat Jumat memiliki beberapa ketentuan atau syarat keabsahan yang harus dipenuhi baik secara individu maupun umum. Apabila tidak terpenuhi, maka shalat Jumat dihukumi tidak sah. Berikut ini adalah syarat-syarat sah pelaksanaan shalat Jumat.
1. Shalat Jumat dan kedua khutbahnya dilakukan di waktu zhuhur
Hal ini berdasarkan hadits:
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْلُ الشَّمْسُ
Artinya: “Sesungguhnya Nabi Saw melakukan shalat Jumat saat matahari condong ke barat (waktu zhuhur)”. (HR.al-Bukhari dari sahabat Anas).
Maka tidak sah melakukan shalat Jumat atau khutbahnya di luar waktu zhuhur. Bila waktu Ashar telah tiba dan jamaah belum bertakbiratul ihram, maka mereka wajib bertakbiratul ihram dengan niat zhuhur. Apabila di tengah-tengah melakukan shalat Jumat, waktu zhuhur habis, maka wajib menyempurnakan Jumat menjadi zhuhur tanpa perlu memperbaharui niat.
Syekh Habib Muhammad bin Ahmad al-Syathiri mengatakan:
فَلَوْضَاقَ الْوَقْتُ أَحْرَمُوْا بِالظُّهْرِ وَلَوْ خَرَجَ الْوَقْتُ وَهُمْ فِيْهَا أَتَمُّوْا ظُهْراً وُجُوْباً بِلَا تَجْدِيْدِ نِيَّةٍ
Artinya: “Apabila waktu zhuhur menyempit, maka wajib melakukan takbiratul ihram dengan niat zhuhur. Apabila waktu zhuhur keluar sementara jamaah berada di dalam ritual shalat Jumat, maka mereka wajib menyempurnakannya menjadi shalat zhuhur tanpa mengulangi niat”. (Syekh Habib Muhammad bin Ahmad al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, hal.236)
2. Dilaksanakan di area pemukiman warga
Shalat Jumat wajib dilakukan di tempat pemukiman warga, sekiranya tidak diperbolehkan melakukan rukhsah shalat jama’ qashar di dalamnya bagi musafir. Tempat pelaksanaan Jumat tidak disyaratkan berupa bangunan, atau masjid. Boleh dilakukan di lapangan dengan catatan masih dalam batas pemukiman warga.
Syekh Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al-Ghazali mengatakan:
وَلَا يُشْتَرَطُ أَنْ يُعْقَدَ الْجُمُعَةُ فِي رُكْنٍ أَوْ مَسْجِدٍ بَلْ يَجُوْزُ فِي الصَّحْرَاءِ إِذَا كاَنَ مَعْدُوْداً مِنْ خِطَّةِ الْبَلَدِ فَإِنْ بَعُدَ عَنِ الْبَلَدِ بِحَيْثُ يَتَرَخَّصُ الْمُسَافِرُ إِذَا انْتَهَى إِلَيْهِ لَمْ تَنْعَقِدْ اَلْجُمُعَةُفِيْهَا
Artinya: “Jumat tidak disyaratkan dilakukan di surau atau masjid, bahkan boleh di tanah lapang apabila masih tergolong bagian daerah pemukiman warga. Bila jauh dari daerah pemukiman warga, sekira musafir dapat mengambil rukhshah di tempat tersebut, maka Jumat tidak sah dilaksanakan di tempat tersebut”. (al-Ghazali, al-Wasith, juz.2, hal.263)
3. Rakaat pertama Jumat harus dilasanakan secara berjamaah
Minimal pelaksanaan jamaah shalat Jumat adalah dalam rakaat pertama, sehingga apabila dalam rakaat kedua jamaah Jumat niat mufaraqah (berpisah dari Imam) dan menyempurnakan Jumatnya sendiri-sendiri, maka shalat Jumat dinyatakan sah.
4. Jamaah shalat Jumat adalah orang-orang yang wajib menjalankan Jumat
Jamaah Jumat yang mengesahkan Jumat adalah penduduk yang bermukim di daerah tempat pelaksanaan Jumat. Sementara jumlah standart jamaah Jumat adalah 40 orang menghitung Imam menurut pendapat kuat dalam madzhab Syafi’i. Menurut pendapat lain cukup dilakukan 12 orang, versi lain ada yang mencukupkan 4 orang.
Al-Jamal al-Habsyi sebagaimana dikutip Syekh Abu Bakr bin Syatha mengatakan:
قَالَ الْجَمَلُ الْحَبْشِيُّ فَاِذَا عَلِمَ الْعَامِيُّ أَنْ يُقَلِّدَ بِقَلْبِهِ مَنْ يَقُوْلُ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ بِإِقَامَتِهَا بِأَرْبَعَةٍ أَوْ بِاثْنَيْ عَشَرَ فَلَا بَأْسَ بِذَلِكَ إِذْ لَا عُسْرَ فِيْهِ
Artinya: “Berkata Syekh al-Jamal al-Habsyi; Bila orang awam mengetahui di dalam hatinya bertaklid kepada ulama dari ashab Syafi’i yang mencukupkan pelaksanaan Jumat dengan 4 atau 12 orang, maka hal tersebut tidak masalah, karena tidak ada kesulitan dalam hal tersebut”. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, Jam’u al-Risalatain, hal.18).
Tidak termasuk jamaah yang mengesahkan Jumat yaitu orang yang tidak bermukim di daerah pelaksanaan Jumat, musafir dan perempuan, meskipun mereka sah melakukan Jumat.
5. Tidak didahului atau berbarengan dengan Jumat lain dalam satu desa
Dalam satu daerah, shalat Jumat hanya boleh dilakukan satu kali. Apabila terdapat dua Jumatan dalam satu desa, maka yang sah adalah Jumatan yang pertama kali melakukan takbiratul ihram, sedangkan Jumatan kedua tidak sah. Jika takbiratul ihramnya bersamaan, maka kedua Jumatan tersebut tidak sah.
Hal ini bila tidak ada kebutuhan yang menuntut untuk dilaksanakan dua kali. Bila terdapat hajat, seperti kedua tempat pelaksanaan terlampau jauh, sulitnya mengumpulkan jamaah Jumat dalam satu tempat karena kapasitas tempat tidak memadai, ketegangan antar kelompok dan lain sebagainya, maka kedua Jumatan tersebut sah, baik yang pertama maupun yang terakhir.
Syekh Abu Bakr bin Syatha’ mengatakan:
وَالْحَاصِلُ أَنَّ عُسْرَ اجْتِمَاعِهِمْ اَلْمُجَوِّزَ لِلتَّعَدُّدِ إِمَّا لِضَيْقِ الْمَكَانِ اَوْ لِقِتَالٍ بَيْنَهُمْ اَوْ لِبُعْدِ أَطْرَافِ الْمَحَلِّ بِالشَّرْطِ
Artinya: “Kesimpulannya, sulitnya mengumpulkan jamaah Jumat yang memperbolehkan berbilangannya pelaksanaan Jumat adakalanya karena faktor sempitnya tempat, pertikaian di antara penduduk daerah atau jauhnya tempat sesuai dengan syaratnya”. (Syekh Abu Bakr bin Syatha, Jam’u al-Risalatain, hal.4).
6. Di dahului kedua khutbah
Sebelum shalat Jumat dilakukan, terlebih dahulu harus dilaksanakan dua khutbah. Hal ini berdasarkan hadits Nabi:
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ قَائِمًا ثُمَّ يَجْلِسُ
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkhutbah pada hari Jum’at dengan berdiri kemudian beliau duduk dan berdiri lagi.” (Hadits Muslim Nomor 1425).
Demikian Materi Singkat tentang; Syarat Sah Shalat Jumat Yang Harus Difahami. Semoga dapat bermanfaat dan menambah ilmu pengetahuan kita semua. Termakasih.