Sunnahnya Mandi Besar-Fiqih Madzhab Syafi’i – Pada Kesempatan ini Duta Dakwah Akan Menuliskan Lanjutan Masalah-masalah Penting Bagi Pria dan Wanita Bagian kesebelas dikutip dari Buku “HAIDHUN NISAA” Karya M. ASMAWI, ZA. Ini adalah lanjutan dari bagian kesepuluh ulasan tentang Masalah Fardhunya Mandi Besar-Fiqih Fathul Qorib Madzhab Syafi’i .
Sunnahnya Mandi Besar-Fiqih Madzhab Syafi’i
Untuk lebih jelasnya sebaiknya silahkan baca Ulasan Duta Dakwah dibawah ini dengan Seksama.
Sunnahnya Mandi
وَيَجِبُ غَسْلُ مَاظَهَرَمِنْ صِمَاخَيْ اُذُنَيْهِ وَمِنْ اَنْفٍ مَجْذُوْعٍ وَمِنْ شُقُوْقِ بَدَنٍ، وَيَجِبُ اِيْصَالُ الْمَاءِ اِلَى مَاتَحْتَ الْقَلْفَةِ مِنَ الْاَقْلَفِ وَاِلَى مَايَبْدُو مِنْ فَرْجِ الْمَرْأَةِ عِنْدَ قُعُوْدِهَا لِقَضَاءِ حَاجَتِهَا *. وَمِمَّا يَجِبُ(وَسُنَنُه) الْغُسْلِ (خَمْسَةُاَشْيَاءَ التَّسْمِيَّةُ وَالْوُضُوْءُ) كَامِلًا (قَبْلَهُ) وَيَنْوِى بِهِ الْمُغْتَسِلُ سُنَّةَ الْغُسْلِ اِنْ تَجَرَدَتْ جِنَابَتُهُ عَنِ الْحَدَثِ الْاَصْغَرِ وَاِلَّانَوَى بِهِ الْاَصْغَرَ (وَاِمْرَارُ الْيَدِ عَلَى مَاوَصَلَتْ اِلَيْهِ مِنَ الْجَسَدِ) وَيُعَبَّرُ عَنْ هَذَا الْاِمْرَارِ بِالدَّلْكِ
Sunnahnya mandi itu ada 5 perkara, yaitu :
- Membaca Basmalah.
- Wudlu, sebelum melakukan mandi. Dan niatlah berwudlu untuk kesunnatannya mandi apa bila memang tidak terdapat hadats kecil pada diri orang jinabat. Sedang bila terdapat hadats kecil, maka niat wudlunya untuk menghilangkan hadats kecil.
- Meratakan pembasuhan ke seluruh bagian dari tubuh. Dalam hal meratakan ini sebaiknya dilakukan dengan menggosok-gosokkan.
وَالْمُوَالَاتُ) وَسَبَقَ مَعْنَاهَا فِى الْوُضُوْءِ، (وَتَقْدِيْمُ الْيُمْنَى)مِنْ شَقَيْهِ (عَلَى الْيُسْرَى) وَبَقِيَ مِنْ سُنَنِ الْغُسْلِ اُمُوْرٌ مَذْكُوْرَةٌ فِى الْمَبْسُوْطَاتِ مِنْهَا التَّثْلِيْثُ وَتَخْلِيْلُ الشَّعَرِ)
- Sambung menyambung, sebagaima-na pengertiannya di dalam masalah wudlu.
- Mendahulukan bagian yang kanan, atas yang kiri dari dua belahan tubuhnya orang yang mandi. Dan masih ada beberapa sunnahnya mandi yang disebutkan di dalam kitab yang panjang-panjang keterangan-nya, antara lain seperti sunnah mengulang 3 kali dan menyela-nyelai rambut.
Masalah Motong Kuku & Rambut Bagi yang sedang Hadats Besar
Cabang PermasalahanTentang Memotong kuku, rambut dan berbekam bagi yang sedang hadats besar.
قُلْتُهُ وَبِقَصِيْرَةِ عِلْمِيْ وَلِجَهْلِي لَا أَعْرَفُ الدَّلِيْلَ مِنَ الْقُرْأَنِ أَوِ الْحَدِيْثِ، صَحِيْحًا أَوْ حَسَنًا أَوْ مَشْهُوْرًا أَوْ ضَعِيْفًا فِيْ بَيَانِ تَحْرِيْمِ تَقْلِيْمِ الْأَظْفَارِ وَ حَلْقِ الشَّعْرِ عَمَّنْ لَهُ جُنُبٌ وَمِنَ النِّسَاءِ الْحَائِضِ وَ النِّفَاسِ، أَوْ فِيْ بَيَانِ تَكْرِيْهِهِ. وَمَا يُحْرَمُ باِلْحَيْضِ أَوْبِالنِّفَاسِ أَوْ بِالْجُنُوْبِ أَوْ بِسَبَبِ الْحَدَثِ الْأَصْغَرِ فَانْظُرْهُ كَمَا كَتَبْتُهُ فِيْ فَصْلِهِ
Sudah ku katakan: sependek pengetahuan saya dan karena kebodohan saya, saya belum tahu dalilnya baik Al-qur’an maupun hadits, baik hadits shohih, hasan, masyhur ataupun dhoif yang menerangkan tetang haram atau makruhnya memotong kuku, dan rambut bagi orang yang junub atau wanita yang sedang haidh atau nifas. Adapun hal-hal yang diharamkan sebab haidh,nifas, junub atau sabab hadats kecil, monggo dipersilahkan antum baca sebagaimana yang sudah saya tuliskan pada fasalnya di muka.
وَ أَنَا أَقْرَأُ فِيْ إِحْيَاءِ عُلُوْمِ الدِّيْنِ لِلْإِمَامِ الْغَزَالِي فِيْ بَيَانِ ذَلِكَ ” كِتَابُ آدَابِ النِّكَاحِ” فِيْ ” الْعَاشِرِ فِيْ آدَابِ الْجِمَاعِ” وَلَيْسَ لَهُ الْحَرَمُ وَالْكَرَهَةُ وَلَكِنْ قَالَ :” لَا يَنْبَغِى أَنْ يَحْلُقَ إلخ ……” سَأَكْتُبُهُ فِيْمَا يَلِي، وَهُوَ إِخْتِلَافٌ فِيْ الشَّافِعِيَّةِ وَلَيْسَ إِتِّفَاقَا فِيْ الْمَذْهَبِ، وَلَكِنَّ أُوَافِقُ عَلَى رَأْيِهِ ثُمَّ أَتَّبِعُهُ لِلْإِحْتِيَاطِ وَهُوَ أَحْسَنُ عَلَى رَأْيِيْ لِأَنَّمَا فَعَلَهُ كَانَ طَاهِرًا مِنَ الْحَدَثِ الْأَكْبَرِ.
Namun saya membaca dalam kitab “IHYA ‘ULUMIDDIN” Karya Beliau Imam Al-Ghozali dalam menerangkan perihal tersebut ada pada “Kitab Adabun Nikah” dan posisinya tertulis pada: “Yang kesepuluh dalam tata kesopanan bersetubuh” Namun di situ kalimatnya tidak mutlak, yaitu bukan haram dan juga bukan makruh akan tetapi beliau berkata : “Tidak sepatasnya ia mencukur rambut dan seterusnya, s/d ankhir kata-kata beliau …..”. Perkataan beliau ini akan saya tuliskan di bawah ini, dan pendapat tersebut adalah ikhtilaf (ada perbedan pendapat) di kalangan madzhab Syafi’i, artinya bukan kesepakatan dalam mdzhab ini, akan tetapi saya (M.Asmawi / Penulis Risalah Haidhun Nisaa ini) sepakat atas pendapat Imam Al-Ghozali kemudian saya juga mengikutinya karena ihtiyath dan demikian ini menurut saya adalah bagus, sebab apa yang ia telah lakukan itu berada dalam kondisi suci dari hadats besar.
Berikut Kalimat yang disampaikan oleh beliau Imam Al-Ghozali :
قال : “وَلَا يَنْبَغِيْ أَنْ يَحْلُقَ أَوْ يُقِلِّمَ أَوْ يَسْتَحِدَّ أَوْ يُخْرِجَ الدَّمَ أَوْ يُبِيْنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ تُرَدُّ إِلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ فِي الْآخِرَةِ فَيَعُوْدُ جُنُبًا وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا”.
Berkata Imam Al-Ghozali : “Tidak sepantasnya untuk mencukur atau memotong kuku atau mencukur bulu kemaluan atau mengeluarkan darah atau memisahkan bagian tubuhnya dari dirinya di mana ia sedang junub karena seluruh bagian-bagiannya akan dikembalikan di akhirat maka bagian itu akan kembali dengan junub. Dan dikatakan bahwa setiap rambut itu akan menuntutnya karena junubnya”. {Ihya, terjemah, j: 3/166}
Selain dari itu saya membaca juga dalam “Fathul Mu’in” Karya Al-‘Alim Al-‘Alamah Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul-‘Aziz Al-Mulibari sebagai berikut :
فَرْعٌ﴾ يُسَنُّ لِجُنُبٍ وَ حَائِضٍ وَنُفَسَاءَ بَعْدَ اِنْقِطَاعِ دَمِهِمَاغَسْلُ فَرْجٍ وَوُضُوْءٍ لِنَوْمٍ وَأُكْلٍ وَشُرْبٍ، وَيُكْرَهُ فَعْلُ شَيْئٍ مِنْ ذَلِكَ بِلَا وُضُوْءٍ. وَ يَنْبَغِيْ أَنْ لَا يُزِلُوْا قَبْلَ الْغُسْلِ شَعْرًا، أَوْ ظَفْرًا وَكَذَا دَمًا لِأَنَّ ذَلِكَ يُرَدُّ فِيْ الْآخِرَةِ. [فتح المعين، تأليف العالم العلامة الشيخ زين الدين بن عبد العزيز الملباري تلميذ ابن حجر الهيتمي الشافعي، نفعنا الله به و بعلومه، آمين، صحيفة ؛ 11، ]
Masalah ke-dua
Cabang Permasalahan : Disunahkan bagi orang junub bagi wanita yang haidh dan yang nifas setelah berhenti kedua darah haidh dan nifasnya, yaitu mencuci parjinya dan sunah berwudhu karena mau tidur, makan dan untuk minum, dan dimakruhkan melakukan sesuatu dari yang tersebut (ya’ni mau tidur, makan dan untuk minum,) bila tidak berwudhu terlebih dahulu. Dan seyogyanya sebelum mandi jangan sampai membuang rambut, kuku, begitu juga darah (maksudnya berbekam) sebab semua itu akan dikembalikan di akhirat masih dalam keadaan junub. {Keterangan ini saya kutip dari Kitab “Fathul-Mu’in” Karya Al-‘Alim Al-‘Alamah As-Syaikh Zainuddin bin ‘Abdul-‘Aziz Al-Mulibari, santri Ibnu Hajar Al-Haitami beliau bermadzhab Syafi’i, semoga kita diberi manfa’at oleh Allah dengannya dan dengan ilmu-ilmu beliau, Amiin, tertulis di halaman 11, Kitab Kuning}
Kemudian saya membaca dalam Syarahnya yakni Kitab “I’anatu-Tholibin” Karya As-Sayid Abi Bakar bin As-Sayid Muhammad Syatho Ad-Dimyathi, Juz 1 halaman 79 Kitab Kuning sebagai berikut :
(قوله يَنْبَغِيْ أَنْ لَا يُزِلُوْا .. إلخ) قَالَ فِيْ الْإِحْيَاءِ : “وَلَا يَنْبَغِيْ أَنْ يَحْلُقَ أَوْ يُقِلِّمَ أَوْ يَسْتَحِدَّ أَوْ يُخْرِجَ الدَّمَ أَوْ يُبِيْنَ مِنْ نَفْسِهِ جُزْءًا وَهُوَ جُنُبٌ إِذْ تُرَدُّ إِلَيْهِ سَائِرُ أَجْزَائِهِ فِي الْآخِرَةِ فَيَعُوْدُ جُنُبًا وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ تُطَالِبُهُ بِجَنَابَتِهَا ا ه”. وَقَوْلُهُ وَيُقَالُ إِنَّ كُلَّ شَعْرَةٍ … إلخ ع ش فَائِدَتُهُ التَّوْبِيخُ وَاللَّوْمُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِفَاعِلِ ذَلِكَ، وَيَنْبَغِيْ أَنَّ مَحَلَ ذَلِكَ حَيْثُ قَصَّرَ كَأَنْ دَخَلَ وَقْتُ الصَّلَاةِ وَلَمْ يَغْتَسِلْ وَإِلَّا فَلَا. [إعانة الطالبين للسيد ابي البكر بن السيد محمّد شطا الدمياطي، جزء الأول صحيفة : 79
Yang artinya : (Perkataan : “seyogyanya sebelum mandi jangan sampai membuang rambut, dst…) Imam Al-Ghozali mengatakan dalam “Ihya ‘Ulumiddan” : “Tidak sepantasnya untuk mencukur atau memotong kuku atau mencukur bulu kemaluan atau mengeluarkan darah atau memisahkan bagian tubuhnya dari dirinya di mana ia sedang junub karena seluruh bagian-bagiannya akan dikembalikan di akhirat maka bagian itu akan kembali dengan keadaan masih junub.
Dan dikatakan bahwa setiap rambut itu akan menuntutnya karena junubnya”. Selesai perkataan Imam Ghozali.
Dan Adapun perkataan : “bahwa setiap rambut, …. dst” (Ali Assibro Malisi) Faidahnya adalah : “ia pada hari qiyamat akan menegur dan menyalahkan bagi yang melakukan perihal tersebut”. Dan semestinya bahwa tempat tersebut adalah sudah dekat seolah-olah waktu sholat sudah masuk tetapi ia tidak mau mencucinya. Jika tidak seperti itu mak tidak apa-apa.
memang dijelaskan dalam I’anatut Tholibin (1/79-80) dengan pernyataan:
وَفِيْ عَوْدِ نَحْوِ الدَّمِ نَظْرٌ، وَكَذَا فِيْ غَيْرِهِ، لِاَنَّ الْعَائِدَ هُوَ الْاَجْزَاءُ الَّتِيْ مَاتَ عَلَيْهَا. [إعانة الطالبين : فوستكا العلوية سماراڠ، جزء الأول صحيفة : 79 – 80
“Tentang akan kembalinya (anggota tubuh) semisal darah, pendapat ini perlu diselidiki lagi. Demikian pula (bagian tubuh) yang lainnya. Karena (bagian tubuh) yang kembali (dibangkitkan bersama dengan pemilik bagian tubuh itu) adalah bagian-bagian tubuh yang pemilik tubuh itu mati bersamanya (ada pada saat kematian orang tersebut)”
Dari Perkataan inilah maka timbul di kalangan madzhab Syafi’i pendapat-pendapat yang berbeda, ada yang berpendapat tidak boleh, ya’ni makruh memotong kuku, rambut atau berbekam dan yang semisalnya bagi orang yang sedang junub atau yang sedang berhadats besar, ada juga yang berpendapat boleh memotong kuku, rambut atau berbekam dan yang semisalnya bagi orang yang sedang junub atau yang sedang berhadats besar.
Pilihan Penulis Haidhun Nisaa
Saya Penulis Risalah ini (M.Asmawi) Tidak memilih haram, dan makruh, tapi saya lebih memilih kepada kata “Sebaiknya” Maka Orang yang sedang dalam hadats besar sebaiknya tidak mencukur atau memotong kuku atau mencukur bulu kemaluan atau mengeluarkan darah atau memisahkan bagian tubuhnya dari dirinya, kalaupun toh ia melakukannya karena sesuatu hal maka itu tidak mengapa, namun alangkah baiknya bagian anggota badan kita, yang akan kita buang itu tidak dalam keadaan hadats besar, sebagaimana yang diterangkan oleh beliau Imam Al-Ghozali.
Kalimat “Tidak sepantasnya…..” ini sudah saya lakukan untuk diri saya, anak dan istri saya, sedangkan bagi orang lain saya tidak ada komentar, saya hanya sebatas membacakan, karena masing-masing kita tentu sangat bisa memahami persoalan ini mana yang paling cocok dengan pemikiran kita masing-masing. Demikian Wallahu Ta’ala A’lam.
Demikian ulasan : Sunnahnya Mandi Besar-Fiqih Madzhab Syafi’i (Kutipan dari Haidhun Nisaa) Ulasan ini masih bersambung pada: Cara Mandi Besar Yang Baik Semoga dapat memberikan manfaat untuk kita semua.Terimakasih.