Masalah Penting Seputar Wanita (Haidhun Nisaa Lengkap) – Pada Kesempatan ini Duta Dakwah Akan Menuliskan Masalah-masalah Penting Seputar Wanita in syaa allah lengkap dikutip dari Kitab “HAIDHUN NISAA” Karya M.ASMAWI, ZA. Pembina Majlis Ta’lim Al-Istiqomah Simpang Pematang sekaligus sebagai Pengasuhnya.
Masalah Penting Seputar Wanita (Haidhun Nisaa Lengkap)
Untuk lebih jelasnya sebaiknya silahkan baca Ulasan Duta Dakwah dibawah ini dengan Seksama.
Mukodimah
بسم الله الرحمن الرحيم السَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهْ الـحَمْدُ للهِ رَبِّ العَالَـمِيْنَ ، وَالعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ ، فَلَا عُدْوَانَ إِلَّا عَلَى الظَّالِـمِيْنَ ؛ وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى أَشْرَفِ الأَنْبِيَاءِ وَالـمُرْسَلِيْنَ ،نَبِيِّنَا وَحَبِيْبِنَا مُـحَمَّدٍ أَرْسَلَهُ اللهُ رَحْـمَةً لِلْعَالَمِيْنَ ، وَعَلَى اَلِهِ أَزْوَاجِهِ الطَّاهِرَاتِ أُمَّهَاتِ الـمُؤْمِنِيْنَ ، وَعَلَى آلِهِ الطَّيِّبِيْنَ وَأَصْحَابِهِ الغُرِّ الـمَيَامِيْنِ ، وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ، أَمَّا بَعْدُ
Puji dan Syukur senantiasa kita Panjatka ke Hadhirat Allah SWT. Shalawat dan Salam semoga tetapa tercurah ke haribaan Nabi Agung Muhammad s.a.w. Pembaca yang budiman, untuk yang pertama ini kami tuliskan Bab Ahid terlebih dahulu berikut ini uraiannya:
بَابُ اَلْحَيْضِ BAB HAIDH
Firman Allah S.W.T
وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُواْ النِّسَاء فِي الْمَحِيضِ وَلاَ تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّىَ يَطْهُرْنَ فَإِذَا تَطَهَّرْنَ فَأْتُوهُنَّ مِنْ حَيْثُ أَمَرَكُمُ اللّهُ إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ [البقرة : 222]
1- 222. Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah suatu kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Hadits Aisyah
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: ( إِنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَقَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ دَمَ اَلْحَيْضِ دَمٌ أَسْوَدُ يُعْرَفُ فَإِذَا كَانَ ذَلِكَ فَأَمْسِكِي مِنَ اَلصَّلَاةِ فَإِذَا كَانَ اَلْآخَرُ فَتَوَضَّئِي وَصَلِّي ) رَوَاهُ أَبُو دَاوُدَ وَالنَّسَائِيُّ وَصَحَّحَهُ اِبْنُ حِبَّانَ وَالْحَاكِمُ وَاسْتَنْكَرَهُ أَبُو حَاتِم (نقلته من بلوغ المرام إبن حجر العسقلاني)
2- Dari ‘Aisyah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Fatimah binti Abu Hubaisy sedang keluar darah penyakit (istihadlah). Maka bersabdalah Rasulullah s.a.w. kepadanya: Sesungguhnya darah haidh adalah darah hitam yang telah dikenal. Jika memang darah itu yang keluar maka berhentilah dari shalat namun jika darah yang lain berwudlulah dan shalatlah. Riwayat Abu Dawud dan Nasa’i. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban dan Hakim. Abu Hatim mengingkari hadits ini (Saya kutip dari Bulughul-Marom Ibnu Hajar Al-Asqolani)
Tentang Cairan Keruh dan Kekuning-Kuningan Setelah Haidh
عَنْ أُمِّ عَطِيَّةَ قَالَتْ: «كُنَّا لاَ نَعُدُّ الصُّفْرَةَ وَالكُدَرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ شَيْئاً» رواه أبو داود والبخاري ولم يَذْكُرْ بَعْدَ الطُّهْرِ. [نقلت هذا من نيل الأوطار في شرح منتقى الأخبار]
3. Dari Ummu ‘Athiyyah, ia mengatakan, “Dulu (di masa hidup Rasulullah s.a.w.) Kami tidak menghiraukan cairan keruh atau kekuning-kuningan yang keluar setelah suci (dari haid).” (HR. Abu Daud dan Al-Bukhari, namun tanpa menyebutkan redaksi: “setelah suci”) {Saya kutip keterangan ini dari Nailul-Authar fi syarhi muntaqil-akhbar}
Ahmad Abu Daud dan Ibnu Majah
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: «أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي المَرْأَةِ الَّتِي مَا يُرِيبُهَا بَعْدَ الطُّهْرِ: إِنَّمَا هُوَ عِرْقٌ، أَوْ قَالَ: عُرُوقٌ» رواه أحمد وأبو داود وابن ماجه
4- Dan Aisyah, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda mengenai wanita yang melihat darah yang keluar yang membuatnya ragu setelah ia suci, “Sesungguhnya darah itu hanyalah darah penyakit” atau beliau mengatakan, “darah-darah penyakit.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah) {Saya kutip keterangan ini dari Nailul-Authar fi syarhi muntaqil-akhbar}
Kata Imam An-Nawawi
فَقَالَ النَّوَوِيُّ فِيْ شَرْحِ الْمُهَذَبِ: لَا أَعْلَمُ مَنْ رَوَاهُ بِهَذَا اللَّفْظِ: وَالْحَدِيْثُ يَدُلُ عَلَى أَنَّ الصَّفْرَةَ وَالْكَدْرَةَ بَعْدَ الطُّهْرِ لِيْسْتَأْمَنَّ الْحَيْضَ، وَأَمَّا فِيْ وَقْتِ الْحَيْضِ فَهُمَا حَيْضٌ
Imam An-Nawawi mengatakan dalam Syarah Muhadzab: “Aku tidak tahu siapa yang meriwayatkan dengan lafadz ini: Dan Hadits ini menunjukkan bahwa cairan kekuning-kunigan dan cairan keruh yang keluar setelah suci adalah perlindungan darah haidh, dan adapun bila itu keluar di masa haidh, maka keduanya itu adalah darah haidh.
Pensyarah Nailul-Authar Rahimahullahu Ta‘ala mengatakan: Hadits di atas menunjukkan bahwa cairan kekuning-kunigan dan cairan keruh yang keluar setelah suci bukanlah darah haidh, adapun bila itu keluar di masa haidh, maka itu adalah darah haidh.
Disebutkan di dalam Al-Ikhtiyarat: Tidak ada kepastian tentang batas minimal atau batas maksimal waktu haid, bahkan setiap yang menjadi kebiasaan masa haidh wanita maka itu adalah haidh, sekalipun itu kurang dari satu hari atau bahkan lebih dari lima belas alau tujuh belas hari. Juga tidak ada batasan minimal usia wanita mulai haid. dan tidak pula batas maksimal usia wanita mengalami haidh. Dan juga tidak ada batas minimal masa suci antara dua masa haidh. Wanita yang baru pertama kali mengalami haidh adalah semenjak ia melihat keluarnya darah selama ia tidak menderita darah penyakit (istihadhoh).
Wanita yang mengalami perubahan masa haidh dan yang biasanya, yaitu bertambah atau berkurang atau berpindah, maka itu adalah haidh, kecuali bila ia bisa membedakan bahwa itu adalah darah istihadhah (darah penyakit) karena keluar terus menerus. Wanita hamil adakalanya mengalami haid.
Demikian kalau yang disebutkan dalam Al-Ikhtiyarot, namun berbeda dengan analisa Imam Syafi’i sebagaimana nanti akan saya tuliskan kutipan dari Fathul-Qoribul-Mujib Karya Syekh Al-Imam Al-‘Alim AL-‘Alamah Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad bin Qosim As-Syafi’i dalam satu fasal.
Dalam hadits Asma binti Umais
وَفِي حَدِيثِ أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ عِنْدَ أَبِي دَاوُدَ: (.لِتَجْلِسْ فِي مِرْكَنٍ فَإِذَا رَأَتْ صُفْرَةً فَوْقَ اَلْمَاءِ فَلْتَغْتَسِلْ لِلظُّهْرِ وَالْعَصْرِ غُسْلاً وَاحِدًا وَتَغْتَسِلْ لِلْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ غُسْلاً وَاحِدًا وَتَغْتَسِلْ لِلْفَجْرِ غُسْلاً وَتَتَوَضَّأْ فِيمَا بَيْنَ ذَلِكَ ) (نقلته من بلوغ المرام إبن حجر العسقلاني)
5- Dalam hadits Asma binti Umais menurut riwayat Abu Dawud: Hendaklah dia duduk dalam suatu bejana air. Maka jika dia melihat warna kuning di atas permukaan air hendaknya ia mandi sekali untuk Dhuhur dan Ashar mandi sekali untuk Maghrib dan Isya’ dan mandi sekali untuk shalat subuh dan berwudlu antara waktu-waktu tersebut. (Keterangan ini saya kutip dari Bulughul-Marom Ibnu Hajar Al-Asqolani)
Hamnah binti Jahsy berkata
وَعَنْ حَمْنَةَ بِنْتِ جَحْشٍ قَالَتْ: ( كُنْتُ أُسْتَحَاضُ حَيْضَةً كَبِيرَةً شَدِيدَةً فَأَتَيْتُ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم أَسْتَفْتِيهِ فَقَالَ: إِنَّمَا هِيَ رَكْضَةٌ مِنَ اَلشَّيْطَانِ فَتَحَيَّضِي سِتَّةَ أَيَّامٍ أَوْ سَبْعَةً ثُمَّ اِغْتَسِلِي فَإِذَا اسْتَنْقَأْتِ فَصَلِّي أَرْبَعَةً وَعِشْرِينَ أَوْ ثَلَاثَةً وَعِشْرِينَ وَصُومِي وَصَلِّي فَإِنَّ ذَلِكَ يُجْزِئُكَ وَكَذَلِكَ فَافْعَلِي كَمَا تَحِيضُ اَلنِّسَاءُ فَإِنْ قَوِيتِ عَلَى أَنْ تُؤَخِّرِي اَلظُّهْرَ وَتُعَجِّلِي اَلْعَصْرَ ثُمَّ تَغْتَسِلِي حِينَ تَطْهُرِينَ وَتُصَلِّينَ اَلظُّهْرَ وَالْعَصْرِ جَمِيعًا ثُمَّ تُؤَخِّرِينَ اَلْمَغْرِبَ وَتُعَجِّلِينَ اَلْعِشَاءَ ثُمَّ تَغْتَسِلِينَ وَتَجْمَعِينَ بَيْنَ اَلصَّلَاتَيْنِ فَافْعَلِي. وَتَغْتَسِلِينَ مَعَ اَلصُّبْحِ وَتُصَلِّينَ. قَالَ: وَهُوَ أَعْجَبُ اَلْأَمْرَيْنِ إِلَيَّ) رَوَاهُ اَلْخَمْسَةُ إِلَّا النَّسَائِيَّ وَصَحَّحَهُ اَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ اَلْبُخَارِيّ (نقلته من صحيح البخاري، نيل الأوطار في شرح منتقي الأخبار و بلوغ المرام)
6- Hamnah binti Jahsy berkata: Aku pernah mengeluarkan darah penyakit (istihadlah) yang banyak sekali. Maka aku menghadap Nabi s.a.w. untuk meminta fatwanya. Beliau bersabda: “Itu hanya gangguan dari setan. Maka anggaplah enam atau tujuh hari sebagai masa haidmu kemudian mandilah. Jika engkau telah bersih shalatlah 24 atau 23 hari berpuasa dan shalatlah karena hal itu cukup bagimu. Kerjakanlah seperti itu setiap bulan sebagaimana wanita-wanita yang haidh. Jika engkau kuat untuk mengakhirkan shalat dhuhur dan mengawalkan shalat Ashar (maka kerjakanlah) kemudian engkau mandi ketika suci dan engkau shalat Dhuhur dan Ashar dengan jamak. Kemudian engkau mengakhirkan shalat maghrib dan mengawalkan shalat Isya’ lalu engkau mandi pada waktu subuh dan shalatlah.
Beliau bersabda: Inilah dua hal yang paling aku sukai.
Diriwayatkan oleh Imam Lima kecuali Nasa’i. Shahih menurut Tirmidzi dan hasan menurut Bukhari. (Hadits ini saya kutip dari shahih Al-Bukhori, Nailul-Authar fi Syarhil-Muntaqil-Akhbar dan Bulughul-Marom)
قَوْلُهُ: «فَتَحَيَّضِي» بِفَتْحِ التَّاءِ الْفَوْقِيَّةِ وَالْحَاءِ الْمُهْمَلَةِ وَالْيَاءِ الْمُشَدَدَةِ أَيْ اِجْعَلِيْ نَفْسَكِ حَائِضاً.
Perkataan Pensyarah kalimat “Maka berhaidhlah kamu” dengan dibaca fathah huruf “Ta” yang bertitik di atas, huruf “Ha” yang kosong tanpa titik dan huruf “Ya” yang bertasydid, maksudnya adalah “anggaplah kamu sedang berhaidh”.
Mushanif rahimahullahu ta’ala berkata
قَالَ الْمُصَنِّفُ رَحِمَهُ اللهُ فِيْهِ أَنَّ الْغُسْلَ لِكُلِّ صَلَاةٍ لَا يَجِبُ بَلْ يُجْزِئُهَا الْغُسْلُ لِحَيْضِهَا الَّذِيْ تَجْلِسُهُ، وَأَنَّ الْجَمْعَ لِلْمَرِضِ جَائِزٌ، وَأَنَّ جَمْعَ الْفَرِيْضَتَيْنِ لَهَا بِطَهَارَةٍ وَاحِدَةْ جَائِزٌ، وَأَنَّ تَعْيِيْنَ الْعَدَدِ مِنَ السِّتَةِ وَالسَّبْعَةِ بِاِجْتِهَادِهَا لَا بِتَشْبِيْهِهَا لِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ: «حَتَّى إِذَا رَأَيْتِ أَنْ قَدْ طَهَرْتِ وَاسْتَنْقَيْتِ» انتهى.
Mushanif rahimahullahu ta’ala berkata dalam hadits ini: “Bahwa mandi untuk setiap sholat itu tidak wajib, bahkan mandi itu cukup haidhnya saja; Bolehnya menjamak sholat bagi yang sakit; Bolehnya menjamak dua sholat fardhu dengan satu kali bersuci; Penetapan enam atau tujuh hari adalah berdasarkan ijtihadnya, bukan wanita lain yang serupa dengannya, hal ini berdasarkan sabda nabi s.a.w. : “Sampai engkau merasa telah bersih dan suci”. {Saya kutip Keterangan ini dari syarah “Muntaqal-Akhbar Bab Mustahadhoh}
Demikian juga Imam An-Nawawi dalam kitab Syarah Muslim berkata setelah menyebutkan kedua hadits tersebut: “Ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada kewajiban mandi bagi wanita mustahadhah pada setiap shalat, juga tidak ada kewajiban mandi pada setiap waktu kecuali satu kali mandi yaitu pada saat habisnya masa haidh. Dan oleh karena itu sebagian besar ulama salaf dan khalaf berpendapat seperti ini, yaitu yang diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas’ud, Ibnu Abbas dan Aisyah r.a., pendapat ini juga merupakan pendapat dari Urwah bin Az-Zubair, Abu Salamah bin Abdurrahman, Imam Malik, Imam Abu Hani-fah dan Imam Ahmad.
Abdullah bin Yusuf ia berkata
حَدَثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوْسُفَ قَالَ أَخْبَرَنَا مَالِكٌ عَنْ هِشَامِ بْنِ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ قَالَتْ فَاطِمَةُ بِنْتِ أَبْيْ حُبَيْشٍ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنِّيْ لَا أَطْهُرُ أَفَأَدُعُّ الصَّلَاةَ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّمَا ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلْتِ الْحَيْضَةَ فَاتْرُكِيْ الصَّلَاةَ فَإِذَا ذَهَبَ قَدْرُهَا فَاغْسِلِيْ عَنْكِ الدَّمَ وَصَلِّي (نقلت هذا من صحيح البخاري باب الاستحاضة)
7- Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yusuf ia berkata: Malik telah mengkhabarkan kepada kami dari Hisyam bin ‘Urwah dari ayahnya dari ‘Aisyah r.a. bahwasanya ia berkata, Fatimah binti Abi Hubaisy berkata kepada Rasulullah s.a.w., : “Wahai Rasulullah s.a.w., sesungguhnya aku dalam kondisi sedang tidak suci apakah aku meninggalkan sholat?, kemudian Rasulullah s.a.w. beliau menjawab : “Darah itu darah peluh dan bukan darah haidh, jika engkau mendapatkan haidh maka tinggalkanlah shalat, dan jika telah habis masa haidh maka mandilah engkau dan bersihkanlah darah itu kemudian sholatlah”. {Hadits ini saya kutip dari shohih Al-Bukhori bab istihadhoh}
Abdullah bin Muhammad telah memberitahu kami
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مُحَمَّدٍ قَالَ حَدَّثَنَا سُفْيَانُ عَنْ هِشَامٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتِ أَبْيْ حُبَيْشٍ كَانَتْ تُسْتَحَاضُ فَسَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ ذَلِكَ عِرْقٌ وَلَيْسَتْ بِالْحَيْضَةِ فَإِذَا أَقْبَلْتِ الْحَيْضَةَ فَدَعِّي الصَّلَاةَ وَإِذَا أَدْبَرَتْ فَاغْتَسِلِي وَصَلِّي (نقلت هذا من صحيح البخاري باب إقبال المحيض وإدباره)
8- Abdullah bin Muhammad telah memberitahu kami, ia berkata : Sufyan telah memberi tahu kami dari Hisyam dari ayahnya dari ‘Aisyah r.a., bahwa Fatimah binti Abi Hubaisy adalah istihadhoh lalu ia bertanya kepada Rasulullah s.a.w., kemudian Rasulullah s.a.w. menjawab : “Darah itu adalah darah keringat bukan darah haidh, jika engkau mendapatkan haidh maka tinggalkanlah shalat, dan jika telah habis masa haidh maka mandilah engkau dan sholatlah”. {Hadits ini saya kutip dari shohih Al-Bukhori bab Iqbalul-Mahidh wa Idbarihi}
Mengenai Wanita Mustahdhoh
عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ: «عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ قَالَ فِي المُسْتَحَاضَة: تَدَعُ الصَّلاَةَ أَيامَ أَقْرَائِهَا ثُمَّ تَغْتَسِلُ وَتَتَوَضَّأُ عِنْدَ كُلِّ صَلاَةٍ وَتَصُومُ وَتُصَلِّي» رواه أبو داود وابن ماجه والترمذي وقال: حسن. (نقلت هذا من نيل الأطار باب وضوء المستحاضة لكل صلاة)
9- Dari ‘Adi bin Tsabit, dari ayahnya, dari kakeknya, dari Nabi s.a.w., beliau bersabda mengenai wanita mustahdhoh: (yang mengeluarkan darah penyakit), “Ia (wanita yang sedang istihadhah itu) agar meninggalkan shalat pada hari-hari haidhnya, kemudian mandi dan berwudhu setiap kali akan shalat. Ia boleh berpuasa dan sholat” (HR. Abu Daud, Ibnu Majah dan At-Tirmidzi, ia mengatakan, “Hadits hasan.”) {Hadits ini saya kutip dari Nailul-Authar Bab Wanita Mustahdhah berwudhui setiap kali sholat}
Masih banyak hadits-hadits yang tidak saya tuliskan dalam Risalah ini akan tetapi mafhumnya dari hadits hadits di atas saya akan tuliskan menurut pan fiqih As-Syafi’iyah dalam kitab Fathul-Qorib dan saya lengkapi dengan bebrapa penjelasannya dalam beberapa kitab fiqih Syafi’iyah atau bila memungkinkan saya tambahkan dari pendapat yang lainnya dalam hal ini sebagai kelengkapan dari fiqih Fathul-qorib maka saya masukkan pula dari Kifayatul-Akhyar sebagai berikut:
Pasal Menerangkan Tentang Haidh
فصلٌ) فِيْ الْحَيْضِ وَالِّنفَاسِ وَالْاِسْتِحَاضَةِ. (وَيَخْرُجُ مِنَ الْفَرْجِ ثَلَاثَةُ دِمَاءٍ): دَمُ الْحَيْضِ وَالِّنفَاسِ وَالْاِسْتِحَاضَةِ)
Pasal menerangkan tentang haidh, nifas dan istihadhoh. Ada 3 macam darah yang ke luar dari farji (wanita) yaitu darah haidh, Nifas dan Istihadhoh.
Darah Haid
فَالْحَيْضُ هُوَ) الدَّمُ(الْخَارِجُ) فِي سِنِّ الْحَيْضِ وَهُوَ تِسْعُ سِنِيْنَ فَاَكْثَرَ (مِنْ فَرْجِ الْمَرْءَةِ عَلَى سَبِيْلِ الصِّحَةِ) اَيْ لَا لِعِلَّةٍ بَلْ لِلْجِبْلَةِ (مِنْ غَيْرِ سَبَبِ الْوِلَادَةِ). وَقَوْلُهُ (وَلَوْنُهُ اَسْوَادٌ مُحْتَدَمٌ لَذَعٌ) لَيْسَ فِيْ اَكْثَرِ نُسَخِ الْمَتَنِ وَفِيْ الصِّحَاحِ اِحْتَدَمَ الدَّمُ اِشْتَدَتْ حَمْرَتُهُ حَتَّى اسْوَدَّ وَلَذَعَتْهُ النَّارُ حَتَّى اَخْرَقَتْهُ
Darah haidh adalah darah yang keluar dalam masa haidh ya’ni setelah sampai usia 9 tahun ke atas, darah ini ke luar dari farji perempuan dalam keadaan sehat artinya bukan karena sakit akan tetapi karena watak perempuan itu, juga tidak karena sebab beranak. Perkataan mushannif: “Dan darah haidh itu warnanya sangat merah yang semelit”. Perkataan mushannif ini tidak banyak terdapat dalam keterangan kitab Matan. Tersebut dalam kitab Shih-hah, bahwa darah itu sangat merah sekali sehingga hampir menjadi hitam dan rasanya panas seperti kena api, seolah-olah api itu membakar darah tersebut.
Darah Nifas
وَالّنِفَاسُ هُوَالدَّمُ الْخَارِجُ عَقِبَ الْوِلَادَةِ) فَالْخَارِجُ مَعَ الْوَلَدِ اَوْقَبْلَهُ لَايُسَمَّى نِفَاسًا وَزِيَادَةُ الْيَاءِ فِيْ عَقِبَ لُغَةً قَلِيْلَةٌ وَالْاَكْثَرُ حَذْفُهَا. (وَالْاِسْتِحَاضَةُ) اَيْ دَمُهَا(هُوَ الدَّمُ الْخَارِجُ فِيْ غَيْرِ اَيَامِ الْحَيْضِ وَالنِّفَاسِ) لَاعَلَى سَبِيْلِ الصِّحَةِ
Darah Nifas, ialah darah yang ke luar mengiringi ke luarnya anak. Maka oleh karena itu darah yang ke luar berbarengan dengan ke luarnya anak atau sebelumnya, adapun tambahan huruf “Yak” pada kata “Aqiba” menurut bahasa adalah sedikit, sedangkan yang terbanyak adalah membuang huruf “yak.” Dan adapun darah Istihadlah, ialah darah yang ke luar bukan pada masa-masa haidh dan nifas, tidak karena dalam keadaan sehat.
Masa Haid
وَاَقَلُ الْحَيْضِ) زَمَنًا (يَوْمٌ وَلَيْلَةٌ) اَيْ مِقْدَارُ ذَلِكَ وَهُوَ اَرْبَعَةٌ وَعِشْرُوْنَ سَاعَةً عَلَى الْاِتِّصَالِ الْمُعْتَارِ كَانَ فِيْ الْحَيْضِ. (وَاَكْثَرُهُ خَمْسَةَعَشَرَ يَوْمًا) بِلَيَالِيْهَا فَاِنْ زَادَ عَلَيْهَا فَهُوَ اِسْتِحَاضَةٌ
Masa haidh paling sedikit adalah sehari semalam artinya menurut perkiraannya saja yaitu 24 jam menurut kebiasaan haidh. Sedang masa haidi yang paling banyak adalah 15 hari beserta malamnya. Apabila lebih dan itu, maka dinyatakan sebagai darah istihadlah.
Dan diterangkan dalam Kitab “Kifayatul-Akhyar” sebagai berikut:
الدَّمُ الْخَارِجُ مِنَ الرَّحْمِ إِنْ كَانَ خُرُوْجُهُ بِلَا عِلَّةٍ بَلْ جَبْلَةٌ أَيْ تَقْتَضِيْهِ الطِّبَاعُ السَّلِيْمَةُ فَهُوَ دَمُ حَيْضٍ وَهُوَ شَيْءٌ كَتَبَهُ اللهُ تَعَالَى عَلَى بَنَاتِ اٰدَمَ كَمَا جَاءَتْ بِهِ السُّنَّةُ الشَّرِيْفَةُ وَهُوَ فِيْ اللُّغَةِ السِّيْلَانُ يُقَالُ حَاضَ الْوَادِيُّ إِذَا سَالَ، وَفِيْ الشَّرْعِ : دَمٌ يَخْرُجُ بَعْدَ بُلُوْغِ الْمَرْأَةِ مِنْ أَقْصَى رَحْمِهَا بِشُرُوْطٍ مَعْرُوْفَةٍ، وَلَهُ أَسْمَاءٌ: الْحَيْضُ وَالْعِـرَاكُ وَالضِّحْكُ وَاْلِإكْبَـارُ وَالْإِعْصَــارُ وَالطَّمْـثُ وَالدِّرَاسُ. قَالَ الْإِمَامُ : وَسُمِّيَ نِفَاسًا لِأَنَّهُ عَلَيْهِ الصًّلَاةُ وَالسَّلَامُ قَالَ لِعَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا: “أَنَفِسْتِ” وَالَّذِيْ يَحِيْضُ مِنَ الْحِيْوَانِ أَرْبَعَةٌ: الْمَرْأَةُ. وَالضَّبُعُ, وَالْأَرْنَبُ« وَالْخَفَاشُ
Darah yang keluar dari rahim secara tabi’at (watak) artinya menurut kebiasaan yang sehat tanpa ada gejala adanya penyakit, dinamakan darah haidh. Darah haidh merupakan suatu ketentuan dari Allah atas setiap wanita keturunan Adam. Sebagaimana telah diterangkan oleh Rasulullah s.a.w., di dalam haditsnya yang mulia.
Haidh menurut arti “lughot” ialah mengalir. Jika diucapkan “Hadhol-Wadiy” artinya: Air jurang itu telah mengalir. Adapun menurut arti Syara’, Haidh adalah darah yang keluar sesudah seorang perempuan mencapai usia baligh, keluarnya dari bagian ujung rahim perempuan, dengan syarat-syarat tertentu.
Haidh mempunyai beberapa nama. Antara lain, yaitu: haidh, irak, dhihk. ikbar, i’shar, thimtsi, dan diras. Imam Haramain berkata: Juga disebut nifas, seperti kata Rasulullah s.a.w. kepada ‘Aisyah: Adakah kamu nifas’ Yakni haidh?.
Hewan yang mengalami peristiwa haidh ada empat, yaitu wanita. hewan dhabu’, marmot dan kelelawar.
وَأَمَّا دَمُ النِّفَاسِ فَهُوَ الْخَارِجُ عَقِيْبَ وِلَادَةِ مَا تَنْقَضِي بِهِ الْعَدَّةُ سَوَاءٌ وَضَعَتْهُ حَيًّا أَو مَيِّتًا كَامِلًا كَانَ أَوْ نَاقِصًا وَكَذَا لَوْ وَضَعَتْ عَلَقَةً أَوْ مُضْغَةً جَزَمَ بِهِ فِيْ الرَّوْضَةِ وَسَوَاءٌ كَانَ أَحْمَرَ أَوْ أَصْفَرَ مُبْتَدِأَةً كَانَتْ فِي الْوِلَادَةِ أَوْ لَا
Adapun darah nifas ialah darah yang kluar mengiringi saat bersalin sebagai tanda habisnya masa ‘iddah. Baik bayi yang dilahirkan itu masih hidup atau sudah mati sempurna maupun cacat demikian juga yang keluar itu berupa gumpalan darah maupun gumpalan daging. Hal-hal seperti ini telah ditetapkan di dalam kitab Ar-Raudhah.
Dan juga yang keluar itu darah merah maupun darah yang bercampur warna kuning. Padawaktu itu perempuan itu baru pertama kali mlahirkan maupun sudah berkali-kali.
وَيُؤْخَذُ مِنْ كَلَامِ الشَّيْخِ أنَّ : “الدَّمُ الْخَارِجُ” مَعَ “الْوَلَدِ أَوْ قَبْلَهُ لَا يَكُوْنُ نِفَاسًا وَهُوَ كَذَلِكَ عَلَى الرَّاجِحِ، وَالنِّفَاسُ فِيْ اللُّغَةِ: هُوَ الْوِلَادَةُ، وَفِي اِصْطِلَاحِ الْفُقَهَاءِ: كَمَا ذَكَرَهُ الشَّيْخُ وَيُسَمَّى هَذَا الدَّمُ نِفَاسًا لِأَنَّهُ يَخْرُجُ عَقِبَ نَفْسٍ، وَأَمَا الدَّمُ الْخَارِجُ وَلَيْسَ بِحَيْضٍ وَلَا بَعْدَ الْوِلَادَةِ فَإِنْ كَانَ فِيْ زَمَنٍ يُمْكِنُ فِيْهِ الْحَيْضُ إِلَّا أَنًّهُ خَرَجَ فِيْ غَيْرِ أَوْقَاتِ الْحَيْضِ لِمَرِضِ أَوْ فَسَادٍ مِنْ عُرْقِ فَمِهِ فِيْ أَدْنَى الرَّحْمِ يُسَمَّى الْعَاذِلَ بِالذَّالِ الْمُعْجَمَةِ وَيُقَالُ بِالْمُهْمَلَةِ فَهُوَ اِسْتِحَاضَةٌ وَمَا عَدَا هَذِهِ الدِّمَاءِ إِذَا خَرَجَ مِنَ الْفَرْجِ فَهُوَ دَمٌ فَسَادٌ كَالْخَارِجِ قَبْلَ سِنِّ الْبُلُوْغِ، وَاللهُ أعْلَمُ
Memahami kata-kata pengarang di muka, “berarti darah yang keluar bersamaan dengan bayinya atau darah yang keluar sebelum bayi lahir, bukan termasuk darah nifas. Memang demikianlah menurut qaul yang rojih.
Nifas menurut atri lughat ialah bersalin. Adapun menurut istilah para Ulama Fiqih, nifas ialah seperti apa yang telah diterangkan oleh pengarang di muka. Dinamakan darah itu nifas karena keluarnya beriringan dengan keluarnya bayi.
Adapun darah yang keluar selain darah haidh dan darah nifas, apabila keluarnya pada masa-masa yang dimungkinkan datang haidh, hanya saja tidak tepat pada waktunya karena sebab sakit atau ada kerusakan pada otot mulut farji di bagian dalam rahim (yang biasa disamakan sebagai Adzil), maka darah tersebut dinamakan darah Istihadhah. Selain darah-darah yang tersebut di atas yang keluar dari farji (yakni haidh, nifas dan istihadhah) maka ia dinamakan darah rusak. Misalnya darah yang keluar dari farji wanita sebelum mencapai usia baligh. Wallahu-a’lam.
Ringkasan Mafhumnya
Darah Haidh, Nifas dan Istihadhoh : Menurut yang dapat saya fahami dari uraian di atas Kesimpulannya adalah sebagai berikut :
1. Kaum perempuan sudah ditentukan oleh Allah S.W.T. bahwa ia pada saatnya akan mengeluarkan darah dari parjinya yang merupakan kekhasan wanita pada umumnya. Akan tetapi ada juga yang tidak mengeluarkan darah seperti pada umumnya wanita.
2. Darah yang keluar dari parji wanita itu ada tiga nama :
- Darah haidh. Darah haidh ini menurut uraian di atas ia akan keluar manakala perempuan tersebut sudah berusia sembilan tahun atau lebih, kalau kurang-kurang sedikit sembilan tahunnya itu tidak mengapa, dan pada umumnya wanita tersebut adalah wanita yang fisiknya subur dan sehat, selain itu pula darah yang keluar tentunya hampir kehitam-hitaman juga pada saat keluarnya darah tersebut terasa hangat.
- Darah Nifas. Darah nifas ini keluar setelah bersalin. Adapun darah yang keluar sebelum melahirkan seperti setelah pecah ketuban, pada bukaan terakhir yang akan keluarnya bayi, atau keluar berbarengan dengan melahirkan, maka darah tersebut tidak dinamkan darah nifas melainka darah tersebut namanya darah wiladah. Adapun jika ada darah keluar sebelum melahirkan setelah pecah ketuban atau setelah bersalin yang berlebihan itu namanya pendarahan yang tidak sehat yang tentunya membutuhkan transfusi darah.
- Darah Istihadhoh. Darah Istihadhoh ini keluar bukan pada waktunya haidh dan bukan pula waktunya nifas, akan tetapi darah ini keluar di luar waktu haidh dan nifas. Misalnya seorang wanita keluar darah dari parjinya, dan darahnya itu segar, merah, darah tersebut tidak kehitam-hitaman, waktu keluarnya terkadang tidak terasa hangat dan masanya kurang dari 24 jam, atau boleh jadi lebih dari 15 hari maka darah itu namanya darah istihadhoh (Darah penyakit), meskipun ada yang berpendapat tidak ada batasan sedikit dan lamanya masa haidh. Demikian pula jika ada darah keluar sebelum berusia sembilan tahun, maka itu adalah darah rusak mestinya segera konsul ke dokter ahli.
3. Selain yang tersebut di atas, darah haidh itu mempunyai beberapa nama antara lain yaitu : haidh, irak, dhihk, ikbar, i’shar, thimtsi, dan diras. Imam Haramain berkata: Juga disebut nifas, seperti kata Rasulullah s.a.w. kepada ‘Aisyah: Adakah kamu nifas’ Yakni haidh?. Akan tetapi nama-nama darah tersebut pada umumnya para wanita tidak mengenal, yang lebih dikenal oleh umumnya para wanita adalah “Haidh”.
Demikian ulasan : Masalah Penting Seputar Wanita (Haidhun Nisaa Lengkap) Ulasan ini masih bersambung pada: Batas Masa Haid dan Masa Nifas, Semoga dapat memberikan manfaat untuk kita semua.Terimakasih