Hukum Sholat di Pesawat, Pertanyaan & Jawaban Lengkap II. – Di bagian pertama kami Duta Dakwah baru menguraikan: Sholat di Pesawat, Hukum Sholat di Pesawat, Pertanyaan Calon Haji, Pesawat Pada Zaman Nabi, Hukum Yang Sudah Dipelajari Asmawi Tentang Sholat Fardhu, Syarat Sholat Madzhab Maliki, Syarat Sholat Madzhab Syafi’i dan Syarat Sholat Madzhab Hanafi. Dan Pada kesempatan kali ini Duta Dakwah akan menyambungkan uaraian tersebut untuk menjadi sebagai jawaban dari pertanyaan tentang sholat di Pesawat udara menurut versi empat Madzhab.
Hukum Sholat di Pesawat, Pertanyaan & Jawaban Lengkap II
Dan Uraian berikutnya adalah Pendapat: Imam Abdur Rahman Al-Jaziri, Pertama Membaca Pendapat Ulama-ulama madzhab Maliki, Kedua Membaca Pendapat Ulama Madzhab Syafi’i, Ketiga Membaca Pendapat Ulama Madzhab Hanafi dan Menganai Kendaraan Pada Zaman Nabi. Untuk lebi jelasnya baca saja sampai habis ulasan kami di bagian II berikut ini:
Hukum Sholat di Pesawat
Terkait dengan Hukum sholat di Pesawat sebagian keterangannya sudah kami sampaikan pada ; Hukum Sholat di Pesawat, Pertanyaan & Jawaban Lengkap I. Adapun Pembahasan kali ini adalah merupakan sambungan dari pembahasan yang pertama berikut ini pendapat-pendapat darin para ahli ilmu di bidangnya:
Imam Abdur Rahman Al-Jaziri berkata:
وَمَنْ كَانَ رَاكِبًا عَلَى دَابَّةٍ وَ لَا يُمْكِنُهُ أَنْ يَنْزُلَ عَنْهَا لِخَوْفٍ عَلَى نَفْسِهِ أَوْ مَالِهِ، أَوْ لِخَوْفٍ مِنْ ضُرَرٍ يَلْحِقُهُ بِالْإِنْقِطَاعِ عَنِ الْقَافِلَةِ، أَوْ كَانَ بِحَيْثُ لَوْ نَزَلَ عَنْهَا لَا يُمْكِنُ الْعَوْدَةُ إِلَى رُكُوْبِهَا وَنَحْوِ ذَلِكَ، فَإِنَّهُ يُصَلِّى الْفَرْضَ فِيْ هَذِهِ الْأَحْوَالِ عَلَى الدَّابَّةِ إِلَى أَيِّ جِهَةٍ يُمْكِنُهُ الْإِتِّجَاهُ إِلَيْهَا، وَتَسْقُطُ عَنْهُ أَرْكَانُ الصَّلَاةِ الَّتِي لَا يَسْتَطِيْعُ فَعْلُهَا، وَلَا إِعَادَةَ عَلَيْهِ. نقلتها مختصرا من مذاهب الأربعة تألبف عبد الرحمن الجزيري مجلد الأول صحيفة : 164 في مبحث صلاة الفرض في السفينة وعلى الدابة ونحوها
Artinya: Barang siapa posisinya berada di atas kedaraan, dan baginya tidak memungkinkan untuk turun dari kendaraannya, karena alasan takut terhadap jiwanya atau karena terancam hartanya, atau karena takut bahaya menimpahnya karena terlepas dari rombongan (kafilah), atau sekiranya andaikata ia turun dari kendaraan maka tidak mungkin bisa kembali ke kendaraan tersebut dan sebagainya, maka sesungguhnya dalam posisi seperti ini ia boleh sholat fardu dalam kondisi seperti itu di atas kendaraan ke arah mana saja ia bisanya menghadap, dan gugur daripadanya rukun-rukun sholat yang ia tidak bisa untuk melakukannya, juga dia tidak perlu mengulangi shlatnya (tidak harus diqodho, dengan catatan pada saat menjalakan sholat ia suci dari hadats besar dan kecil)
وَأَمَّا صَلَاةُ الْفَرْضِ عَلَى الدَّابَّةِ عِنْدَ الْأَمْنِ وَالْقُدْرَةِ، فَإِنَّهَا لَا تَصِحُ إِلَّا إِذَا أَتَى بِهَا كَامِلَةً مُسْتَوْفِيَةً لِشَرَائِطِهَا وَأَرْكَانِهَا، كَالصَّلَاةِ عَلَى الْأَرْضِ، فَإِذَا أَمْكَنَهُ أَنْ يُصِلِّىَ عَلَيْهَا صَلَاةً كَامِلَةً صَحَتْ وَلَوْ كَانَتْ الدَّابَّةُ سَائِرَةٌ. نقلتها مختصرا من مذاهب الأربعة تألبف عبد الرحمن الجزيري مجلد الأول صحيفة : 164 في مبحث صلاة الفرض في السفينة وعلى الدابة ونحوها
Artinya: Adapun sholat fardu di atas kendaraan ketika dalam kondisi aman dan mampu, maka sesungguhnya tidak sahlah sholat fardu kecuali bila dikerjakan dengan sempurna dapat terpenuhi segala syarat-syarat dan rukun-rukunnya sholat, sepaerti shalat di atas tanah (lantai), Maka Apabila memungkinkan kepadanya sholat di atas kendaraan dengan pelaksanaan sholat yang sempurna, maka sahlah sholat walaupun kendaraan tersebut posisi jalan. (Keterangan ini saya kutip secara ringkas dari Madzahibul-arba’ah halaman: 164 Taklif Abdur Rohman Al-Jaziri dalam Pembahasan Sholat Fardhi di atas Perahu)
وَمَنْ أَرَادَ أَنْ يُصَلِّىَ فِيْ سَفِيْنَةِ فَرْضًا أَوْ نَفْلًا فَعَلَيْهِ أَنْ يَسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ مَتَى قَدَرَ عَلَى ذَلِكَ، وَلَيْسَ لَهُ أَنْ يُصَلِّىَ إِلَى غَيْرِ جِهَتِهَا، حَتَّى لَوْ دَارَتْ السَّفِيْنَةُ وَهُوَ يُصَلِّى، وَجَبَ عَلَيْهِ أَنْ يَدُوْرَ إِلَى جِهَةِ الْقِبْلَةِ حَيْثُ دَارَتْ، فَإِنْ عَجَزَ عَنْ اِسْتِقْبَالِهَا صَلَّى إِلَى جِهَةِ قُدْرَتِهِ، وَيسْقُطُ عَنْهُ السُّجُوْدُ أَيْضًا إِذَا عَجَزَ عَنْهُ، وَمَحَلُ كُلِّ ذَلِكَ إِذَا خَافَ خُرُوْجَ الْوَقْتِ قَبْلَ أَنْ تَصِلَ السَّفِيْنَةُ أَوِ الْقَاطِرَةُ إِلَى الْمَكَانِ الَّذِيْ يُصَلِّى فِيْهِ صَلَاةً كَامِلَةً، وَ لَا تَجِبُ عَلَيْهِ الْإِعَادَةُ، وَمِثْلُ السَّفِيْنَةِ الْقَطَرُ الْبَخَارِيَّة الْبَرِيَّةُ وَالطَّائِرَاتُ الْجَوِيَّةُ وَنَحْوُهَا. [نقلتها مختصرا من مذاهب الأربعة تألبف عبد الرحمن الجزيري مجلد الأول صحيفة : 164 في مبحث صلاة الفرض في السفينة وعلى الدابة ونحوها]
Artinya: Dan Barang siapa yang mau melaksanakan sholat di atas perahu baik itu sholat fardu maupun sholat sunah, maka wajib baginya menghadap qiblat, demikian itu kapan ia bisanya, dan tidak boleh ia sholat menghadap ke arah yang bukan qiblat, sehingga andaikata perahu itu memutar arah padahal ia sedang sholat maka wajib atas nakoda memutarkan perahu ke arah qiblat sekiranya perahu tersebut berputar arah, apabila tidak mampu untuk mengarahkan perahu ke arah qiblat, maka ia boleh sholat ke arah semampuhnya, dan juga gugur daripadanya bersujud apa bila ia tidak mampu sujud, dan setiap tempat-tempat yang demikian itu adalah apabila ia takut keluar waktu sebelum perahu atau tongkang tersebut sampai ke tempat yang mana ia bisa melaksanakan sholat dengan sempurna, dan juga tidak wajib baginya mengulangi sholat. Dan adapun yang semisal perahu tersebut adalah Kapal Tongkang dan Pesawat Udara. {Keterangan ini saya kutip secara ringkas dari Madzahibul-arba’ah Taklip Abdur Rohman Al-Jaziri Jilid 1 halaman : 164 Bab pembahasan sholat fardu di atas perahu, di atas kendaraan dan yang semisalnya}.
Jika saya memperhatikan keterangan yang disampaikan oleh beliau Abdur Rohman Al-Jaziri tersebut, berarti sholat di atas pesawat udara dalam kedaan darurat walaupun dilaksanakan dengan tidak sempurna dengan catatan suci dari hadats besar dan kecil, bisa menutup aurat, bersih tempat dan pakaiannya namun tidak menghadap qibalat kerena kondisi darurat maka sholat tersebut sah dan tidak perlu diulang sholatnya ketika tiba di tempat yang memungkinkan bisa melaksankan sholat dengan sempurna. Akan tetapi jika dimungkinkan tiba di tempat masih belum terlambat, ya’ni belum keluar dari waktu shlat maka sholat tersebut tidak sah. Namun walaupun demikian coba kita perhatikan pendapat-pendapat para ulama madzhab sebagai berikut :
Pertama Membaca Pendapat Ulama Madzhab Maliki :
الْمَالِكِيَّةُ قَالُوْا : إِنَّ خَوْفَ مُجَرَّدِ الضَّرَرِ لَا يَكْفِى فِيْ صَحَةِ صَلَاةِ الْفَرْضِ عَلَى ظَهْرِ الدَّابَّةِ، بَلْ قَالُوْا : لَا تَجُوْزُ صَلَاةُ الْفَرْضِ عَلَى الدَّابَّةِ إِيْمَاءً، إِلَّا فِيْ اْإِللْتِحَامِ فِيْ حَرْبِ كَافِرٍ، أَوْ عَدُوِّ كَلِصٍ، أَوْ خَوْفِ مِنْ حِيْوَانٍ مُفْتَرِسٍ، أَوْ مَرَضٍ لَا يَقْدِرُ مَعَهُ عَلَى النُّزُوْلِ، أَوْ سَيْرٍ فِيْ خُضَخَاضِ لَا يَطِيْقُ النُّزُوْلِ بِهِ، أَوْ خَافَ خُرُوْجَ الْوَقْتِ الْمُخْتَارِ، فَفِيْ كُلَّ ذَلِكَ تَصِحُ عَلَى كُلِّ الدَّابَّةِ إِيْمَاءً، وَلَوْ لِغَيْرِ الْقِبْلَةِ، وَإِنْ أَمَنَ الْخَائِفُ اَعَادَ فِيْ الْوَقْتِ نُدْبًا.
Artinya:Al-Malikiyah berkata: Bahwasanya kekhawatiran hanya dalam kondisi darurat itu tidak dapat mencukupi sahnya sholat fardu di atas punggung kendaraan, bahkan mereka berkata : Tidak boleh sholat fardu di atas kendaraan dengan cara berisyarat, kecuali pada saat rapatnya dalam memerangi kafir, atau musuh seperti pencuri, atau takut dari hewan buas, atau sakit yang tidak bisa turun dari atas kendaraan, atau berjalan dalam hutan berair (banyak pepohonan ditambah banyak air mengalir), yang dengan alasan tersebut ia tidak bisa turun, atau takut keluar waktu utama, maka dalam posisi yang sedemikian itu, sahlah sholat di atas masing-masing kendaraannya dengan cara berisyarat walaupun menghadap bukan ke arah qiblat, dan apabila orang yang khawatir tersebut sudah merasa aman maka sunah hukumnya mengulang sholat pada waktu itu.
Kedua Membaca Pendapat Ulama Madzhab Syafi’i :
الشَّافِعِيَّةُ قَالُوْا : لَا يَجُوْزُ لَهُ صَلَاةُ الْفَرْضِ عَلَى الدَّابَّةِ إِلَّا إِذَا كَانَتْ وَاقِفَةً أَوْ سَائِرَةً، وَزَمَامُهَا بِيَدِ مُمَيِّزٍ، وَكَانَتْ صَلَاتُهُ مُسْتَوْفِيَةً، سَوَاءٌ فِيْ حَالَةِ الْأَمْنِ أَوِ الْقُدْرَةِ وَغَيْرِهِمَا. إِلَّا أَنَّ الْخَائِفَ فِيْ أَحْوَالِ الْمُتَقَدِّمَةِ يُصَلِّى حَسْبَ قُدْرَتِهِ وَعَلَيْهِ الْإِعَادَةُ
As-Syafi’iyah berkata : Tidak boleh baginya melaksanakan sholat fardu diatas kendaraan kecuali jika kendaraan itu berhenti atau jalan namun tali kendali kendaraannya di tangan orang yang sudah pandai (mumayiz), dan sholatnya dapat terpenuhi syarat rukunnya, baik dalam keadaan aman, mampu dan yang lainnya. Kecuali bahwasanya orang yang takut dalam kondisi seperti yang diterangkan di muka maka boleh sholat sebisanya hanya wajib baginya i’adah (mengulangi shalat setelah tiba di tempat).
Ketiga Membaca Pendapat Ulama Madzhab Hanafi :
الحنفية قالوا : لَا تَصِحُ صَلَاةُ الْفَرْضِ عَلَى الدَّابَّةِ لِغَيْرِ عُذْرٍ، وَلَوْ أَتَى بِهَا كَامِلَةً. سَوَاءٌ كَانَتْ الدَّابَّةُ سَائِرَةً أَوْ وَاقِفَةً، إِلَّاإِذَا صَلَّى عَلَى مُحَمَّلٍ فَوْقَ دَابَّةٍ وَهِيَ وَاقِفَةٌ، وَلِلْمُحَمَّلِ عِيْدَانٌ مُرْتَكِزَةٌ عَلَى الْأَرْضِ، أَمَّا الْمَعْذُوْرُ فَإِنَّهُ يُصَلِّى حَسْبَ قُدْرَتِهِ وَلَكِنْ بِالْإِيْمَاءِ لِأَنَّهَا فَرْضٌ. وَإِذَا كَانَ يَقْدِرُ عَلَى إِقَافِ الدَّابَّة فَلَا تَصِحُ صَلَاتُهُ حَالَ سَيْرِهَا. وَمِثْلُ الْفَرْضِ الْوَاجِبُ بِأَنْوَاعِهِ. [نقلتها مختصرا من مذاهب الأربعة تألبف عبد الرحمن الجزيري مجلد الأول صحيفة : 164 في مبحث صلاة الفرض في السفينة وعلى الدابة ونحوها]
Al-Hanafiyah berkata: Tidak sah sholat fardu di atas kendaraan selain bagi orang yang udzur, walaupun ia melaksanakannya dengan sempurna, baik kendaraan itu jalan ataupun berhenti kecuali di atas muatan atasnya kendaraan dan kendaraannya itu posisi berhenti, dan bagi muatan ini adalah posisi di tepi pantai juga posisinya menetap di atas bumi. Adapun yang udzur maka ia sesungguhnya boleh sholat menurut kemampuannya tetapai dengan berisyarat krena sholat itu fardu. Dan apabila keadaannya mampu untuk menghentikan kendaraannya maka tidak sah solatnya dalam posisi kendaran jalan. Adapun yang semisal fardu ini adalah suatu yang wajib dengan segala bentuknya.
{Keterangan ini saya kutip secara ringkas dari Madzahibul-arba’ah Taklip Abdur Rohman Al-Jaziri Jilid 1 halaman : 164 Bab pembahasan sholat fardu di atas perahu, di atas kendaraan dan yang semisalnya}.
Menganai Kendaraan Pada Zaman Nabi
Berbicara mengenai kendaraan di zaman para nabi dan sohabat, tentunya yang dimaksudkan itu adalah kendaraan unta atau yang sejenisnya seperti kuda karena pada zaman itu belum ada kendaraan moderen seperti sekarang, oleh karena itu sangat pas sekali jika para ulama madzhab berpendapat seperti yang tertulis diatas, dan menurut saya kendaraan tersebut bisa diqiyaskan pada kendaraan moderen di zaman sekarang ini seperti motor dan mobil baik mobil umum maupun pribadi begitu juga dengan perahu yang tidak butuh qiyas, namun bagaimana dengan Kapal laut yang besar yang di dalamnya ada musholla bahkan bisa digunakan untu sholat jum’at? Kemudian bagaimana dengan peswat udara yang berkapasitas besar yang di dalamnya ada yang jualan juga? Sebetulnya dari semua paparan para ulama mdzhab, sudah banyak memberikan kelonggaran di saat keadaan darurat. Oleh karena itu tentunya hal tersebut kembali kepada wilayah hatinya masing-masing, artinya bagi yang meyaqini sahnya sholat di pesawat udara maka disilahkan, dengan catatan harus suci dari hadats besar dan kecil serta bersih tampat dan pakaiannya dan juga wajib menghadap qiblat bila mampu, dan tidak perlu i’adah setelah tiba di tempat. Akan tetepi bagi orang yang tidak yaqin sahnya sholat di atas pesawat, maka apabila telah datang waktu tetap baginya wajib sholat lihurmatil waqti, walaupun tanpa wudhu itu sah sholat hanya ketika tiba di tempat, kemudian ada waktu dan bisa untuk melaksanakan sholat maka segera melaksanakan i’adah (mengqodho) sholat yang dikerjakan di atas pesawat tadi. Kemudian cara i’adahnya pun boleh dengan qoshor untuk sholat yang empat roka’at.
Menurut Pemahaman saya (Asmawi) adalah sebagai berikut:
Pertama: Jika pesawat yang akan kita tumpangi itu akan terbang sesudah waktu dzuhur, maka sebaiknya kita sholat dulu di Bandara sekalian qoshor jama’ taqdim (Dzuhur dan asar digabung dua roka’at-dua roka’at). Lama penerbangan Indonesia King Abdul-Aziz lebih dari sembilan jam, berarti kalau seandainya terbang dari Indonesia pukul 13.30 WIB maka pesawat akan tiba di Bandara King Abdul Aziz sekitar pukul : 22.40 WIB atau Pukul 18.40 waktu saudi, dan disitu setelah selesai peroses imigrasi di Bandara, maka kita bisa melaksanakan sholat magrib dan isya, qosor sholat isya, dan jama’ ta’khir magrib. Dan pelaksanaan yang seperti ini maka kita akan terlepas dari perbedaan pendapat, kecuali cara jama’ ta’khir yang berbeda pendapat.
Kedua: Jika Pesawat itu Terbangnya tanggung, misal terbang pukul : 12.00 WIB. Maka sebaiknya kita sudah mempunyai wudhu sebelum naik peswat, kemudian ketika waktu sholat sudah masuk maka kita laksanakan sholat semampunya karena bagimanapun di atas pesawat itu kemungkinan tidak tersedia mushola dan keadaannya jelas darurat, dan untuk Pesawt dari Indonesia menuju Arab Saudi itu sudah mengarah ke Makkah berarti sudah menghadap qiblat. Kemudian di situ kita kerjakan sholat dzuhur diqosor sekalian mengqosor jama’ taqdim ‘asar. Dan jika hal ini kita lakukan lalu kita perhatikan pendapat Syekh Abdur Rahman Al-Jaziri, maka disimpulkan bahwa sholat tersebut adalah sah dan tidak perlu i’adah (mengulangi/ mengqodho ketika tiba di tempat). Akan tetapi jika kita memperetimbangkan Pendapat Ulama madzhab Maliki, maka bisa disimpulkan : bahwa sholat tersebut adalah sah dan sunah i’adah (mengulangi/ mengqodho ketika tiba di tempat). Kemudian apabila mempertimbangkan dengan pendapat ulama Mdzhab Asyafi’iyah, maka bisa disimpulkan : bahwa sholat tersebut adalah sah dan wajib i’adah (mengulangi/ mengqodho ketika tiba di tempat). Terus kalau kita mepertimbangkan dengan Pendapat Ulama Madzhab Hanafi, maka bisa disimpulkan : bahwa sholat tersebut adalah tidak sah. Jadi wajib mengqodhonya ketika tiba di tempat. Kesemuanya itu tetap ada pengecualiannya, yaitu kecuali oarang sakit. Jadi bagi orang sakit tidak perlu i’adah/mengqodho /mengulang tanpa ada perbedaan karena walaupun ia sholat di rumah tetap saja bagi orang sakit tidak akan bisa melakukan sholat secara sempurna.
Ketiga: Jika pesawat itu terbang pukul 10.00 atau pukul 11.00. ini memang jam-jam tangung karena jika kita wudhu terlebih dahulu tentu terlalu lama menahan kesucian dari hadats dan aga memberatkan, oleh karena itu ada dua cara untuk bersuci dari hadats di atas pesawat : Pertama : dengan cara berwudhu menggunakan air dalam ke adaan darurat dan hanya diambil wajibnya saja, cara berwudhunya sama seperti kita berwudhu menggunakan air embun, tindakan seperti ini riskan dengan musta’mal bagi madzhab Syafi’i yang berfaham adanya air musta’mal. Kedua : dengan cara bertayamum. Cara Tayamum ini juga terdapat perbedaan pendapat. Ada yang berpendapat cukup dengan satu kali tepukan untuk mengusap muka dan tangan hanya sampai ke pergelangan tangan saja. Ada juga yang ber pendapat : dua tepukan, satu tepukan adalah hanya untuk mengusap wajah secara merata dan satu tepukannya lagi untuk mengusap tangan sampai ke sikut. Dari dua Perbedaan tersebut untuk saya lebih memilih pendapat yang kedua. Dan yang tidak kalah pentingnya untuk diketahui bahwa: satu kali tayamum hanya berlaku untuk satu fardu. Mohon ma’af saya tidak menjabarkan secara detail atau secara ringkas keterangan tentang perbedan cara tayamum mulai dari niat sampai dengan selesai tayamum menurut para ulama empat madzhab, karena terlalu banyak keterangannya jika saya harus menulisnya, sebagaimana tertulis dalam Majmu’ Syarah Muhadzab Taklip Al-Nawawi Damasqus dan Madzahibul-Arba’ah Taklip Abdur Rahman Al-Jaziri.
Kemudian menganai sholat di atas kendaraan, jika kendaraan itu adalah seperti Unta, Kuda, Sepeda, Motor dan mobil baik itu mobil umum atau mobil pribadi, maka untuk saya lebih memilih sah sholat di atas kendaraan tetapi wajib i’adah (mengulang) ketika sudah sampai ke tempat tujuan, apa lagi kalau sholatnya hanya lihurmatil-waktu. Namun jika kendaraan itu semisal Kapal laut yang besar, atau perahu kecil tapi ia berhari-hari tetap di atas perhu kecil tersebut, atau Pesawat udara, maka saya lebih memilih sebagaimana yang dijelaskan oleh Syekh Abdur Rahman Al-Jaziri, artinya sah sholat di atas kendaraan tersebut dan tidak perlu mengulangi ketika sudah sampai di tempat tujuan, tetapi mengenai sholat yang di kerjakan di atas pesawat, saya lebih memilih : sah sholat di atas pesawat kemudian jika sudah sampai di tempat tujuan lebih baik mengulang, namun jika tidak ada waktu untuk menyempatkan mengulang maka saya anggap cukup dan tidak perlu mengulang. Demmikian Wallahu a’lam.
Keempat: Jika Pesawat itu jadwal terbangnya pukul 07.00 WIB atau pukul 08.00 WIB, maka menurut saya itu bebas tidak perlu mengatur waktu sholat karena sampai di King Abdul Aziz juga baru pukul 16.10 WIB / atau pukul 17.10 WIB. Atau pukul : 12.10 Wkt Saudi atau pukul 13.10 Wkt Arab saudi.
Semua yang dibicarakan ini adalah mngenai sholat Fardu bukan sholat sunah. Demikan Wallhu A’lam.
Demikian Uraian kami Duta Dakwah tentang: Hukum Sholat di Pesawat, Pertanyaan & Jawaban Lengkap II Semoga bermanfa’at, terimakasih atas kunjungannya.
بِاللهِ التَّوْفِيْقُ وَالْهِدَايَةُ و الرِّضَا وَالْعِنَايَةُ وَالسَّلَامُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهْ